Kamis, 04 Oktober 2012

Haji itu Gaya Hidup..?



Di jaman yang penuh dengan kemudahan dan fasilitas ini menunaikan ibadah umrah dan haji telah menjadi gaya hidup sebagian kaum Muslimin dari sudut dunia manapun, baik itu pejabat pemerintah, tokoh agama, kalangan selebritis, pengusaha maupun mereka yang berasal dari kalangan awam. Mereka dengan mudah dan ringan mengunjungi Baitullah (Rumah Allah) layaknya mengunjugi rumah kawan, kenalan atau kerabat di luar desa atau di luar kota. Saking mudah dan ringannya hingga sebagian dari mereka mampu haji atau umrah setiap tahunnya. Bahkan juga tidak mengherankan ada yang mampu beberapa kali dalam setahun pulang balik antara Tanah Air dan Tanah Suci.
Sangat disayangkan ketika umroh berubah menjadi sekedar trend atau gaya hidup orang-orang berduit. Sementara terkadang mereka sendiri belum melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu berhaji. Bukankah lebih baik melaksanakan haji terlebih dahulu? Jika mereka sudah mampu dan siap berumroh, kenapa pula mereka tidak siap berhaji?
Lalu, ketika ada orang yang berumroh sampai berkali-kali, bukankah lebih baik mengumrohkan orang lain? bahwa menghajikan atau mengumrohkan orang lain, pahalanya sama dengan berangkat haji sendiri. Jika para orang berduit mampu memahamai hal ini dan berhati lapang, tentu mereka akan memilih mengumrohkan orang lain daripada dia sendiri yang pergi umroh untuk ke sekian kalinya. Dan dengan begitu, semakin banyak pula orang yang bisa merasakan nikmatnya berkunjung ke rumah Allah.
Umroh menjadi gaya hidup tentu tidaklah salah. Hanya saja ketika umroh dijadikan sebagai wahana riya atau pamer tentu kurang tepat, apalagi diberitakan secara berlebihan, khawatir tanpa sengaja, ada muncul di hati kecil kita perasaamn riya itu. Saya rasa para selebritas harus bisa menjaga niat awal mereka berumroh, sehingga pemberitaannya pun tidak serta merta menjadi ajang “takabur”.
Fenomena tersebut  menunjukkan adanya peningkatan ghiroh keislaman dalam beramal di kalangan umat Islam. Namun fenomena ini juga patut menjadi keprihatinan dan bahan renungan kita bersama.Apakah patut menjadikan haji dan atau umroh sebagai gaya hidup sedangkan pada saat yang sama ada begitu banyak saudara-saudara seiman (dan jumlah mereka ini jauh melebihi mereka yang mampu menjadikan haji dan umrah sebagai gaya hidup) yang menjadi korban peperangan, bencana alam, bencana ekonomi dan bencana sosial?
Pribadi yang berakal sehat dan beriman tentu tidak bisa menerima hal ini dan menjawab tidak patut!"Tidak beriman salah seorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah satu tanda keimanan seorang Muslim adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Dengan demikian dia tidak akan pelit mengerahkan daya, upaya, waktu dan dana untuk menjaga keberlangsungan, kesejahteraan dan keselamatan hidup saudara-saudara seagamanya.
Dr. Wael Shihab, yang memperoleh gelar doktor dalam bidang Studi Islam dari Universitas Al-Azhar Mesir, mantan Ketua Unit Fatwa di IslamOnline.net memaparkan, tidak bisa diterima jika seorang Muslim berulang kali melakukan ibadah umrah dan haji yang merupakan ibadah sunah tapi meninggalkan kewajibannya membantu saudara seagamanya untuk mempertahankan identitas dan keyakinan agama mereka, melindungi kehidupan mereka, mendukung dakwahnya, kesejahteraan masyarakat, mendukung proyek-proyek keislaman seperti pusat Islam dan sekolah-sekolah yang mendidik Muslim dan non-Muslim untuk mengetahui Islam dan ajaran-ajarannya, serta mendidik generasi penerus umat Islam dengan nilai-nilai Islam.
Rasulullah saw bersabda yang artinya:
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw ditanya, "Amal apakah yang paling utama?" Maka beliau menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya." Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Allah." Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Haji mabrur." (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, ada baiknya, jika kita memiliki harta berlimpa, mari kita semua memberikan prioritas pada tugas jiwa sosial. Tanpa melarang keinginan melakukan haji dan umrah, sebaiknya ibadah ini kita lakukan sekali-dua kali, bukan berulang kali. 
Jemaah yang datang menjadi tamu Allah bukanlah orang suci yang menghadap Sang Pencipta dengan hati yang putih. Mereka membawa segunung dosa, segudang maksiat, dan setumpuk tipu muslihat. Meski demikian, mereka bersimpuh di Padang Arafah, meminta ampunan, ingin hidup berkah, ingin dikekalkan kenikmatannya, ingin hidup sejahtera dan bahagia, ingin dimanja, dan selalu dekat dengan-Nya. Apakah mereka dikabulkan?inilah istimewanya haji. Meskipun seorang hamba datang membawa dosa sebesar bumi dan dan seluas langit, Allah mengampuninya. Asalkan orang tersebut tulus meminta ampunan dan kemudian menjadi mabrur. Mengapa harus mabrur? Karena orang yang mabrur berarti mengubah perilaku yang menyebabkan dosa menjadi perilaku yang mendatangkan kebaikan. Menghentikan semua perbuatan buruk dan berganti haluan ke arah kebajikan. Kalau haji tak mendatangkan perubahan, berarti orang tersebut mardud (ditolak), kebalikan dari mabrur.
Dibalik perintah melaksanakan Ibadah Haji, Allah menjanjikan bahawa orang yang mengerjakan haji akan dapat menyaksikan keuntungan-keuntungan yaitu hikmah-hikmah yang diperoleh  di  balik ibadah haji itu .
Peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur, kandidat Master Studi Al-Qur’an di IIUM (International Islamic University Malaysia) SEBUAH sinetron berdasarkan kisah nyata dari Mesir beberapa hari yg lalu ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta tanah air. Sinetron tersebut mengisahkan seorang ibu yg diajak putranya pergi ke Tanah Suci utk melaksanakan ibadah umrah. Betapa bahagianya si anak karena ibunya dapat mengunjungi Tanah Suci. Tapi kebahagiaannya itu berubah menjadi kesedihan tatkala ibunya berada di dlm kawasan Masjidil Haram tak bisa melihat Ka’bah karena tak bisa melihat apa-apa kecuali kegelapan. Dia tak putus asa. Dia tiada putus memohon kepada Allah SWT agar Dia berkenan mengampuni dosa-dosa ibunya serta membuat ibunya bisa melihat Ka’bah. Namun Allah SWT belum berkenan mengabulkan doa-doanya hingga saatnya harus kembali ke tanah air mereka. Dia pun tak putus asa utk mengajak ibunya utk pergi ke Tanah Suci hingga lima kali umrah dan satu kali haji meskipun ternyata ibunya tetap mengalami hal yg sama, ibunya selalu mengalami kebutaan ketika berada di kawasan Masjidil Haram

Menjadi tamu Allah
Kaabah atau Baitullah itu dikatakan juga sebagai 'Rumah Allah'. Walau bagaimana pun haruslah difahami bahawa bukanlah Allah itu bertempat atau tinggal disitu. Sesungguhnya Allah itu ada dimana mana. Ia dikatakan sebagai 'Rumah Allah' kerana mengambil apa yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim a.s. oleh yang demikian orang yang mengerjakan haji adalah merupakan tetamu istimewa Allah. Dan sudah menjadi kebiasaan setiap tetamu mendapat layanan yang istimewa dari tuan rumah.
Mendapat pendidikan langsung daripada Allah 
Di kalangan mereka yang pernah mengerjakan haji, mereka mengatakan bahawa Ibadah Haji adalah puncak ujian daripada Allah s.w.t. Ini disebabkan jumlah orang yang sama-sama mengerjakan ibadah tersebut adalah terlalu ramai hingga menjangkau angka jutaan orang.
Menghapus dosa
Mengerjakan Ibadah Haji merupakan kesempatan untuk bertaubat dan meminta ampun kepada Allah. Terdapat beberapa tempat dalam mengerjakan ibadah haji itu merupakan tempat yang mustajab untuk berdoa dan bertaubat. Malah ibadah haji itu sendiri jika dikerjakan dengan sempurna tidak dicampuri dengan perbuatan-perbuatan keji maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya sehingga ia suci bersih seperti baru lahir ke dunia ini.
Memperkuat iman
Ibadah Haji secara tidak langsung telah menghimpunkan manusia Islam dari seluruh pelusuk dunia. Mereka terdiri dari berbagai bangsa, warna kulit dan bahasa pertuturan. Hal ini membuka pandangan dan fikiran tentang kebenaran Al-Quran yang diterangkan semua dengan jelas dan nyata.
Mengambil pelajaran daripada peristiwa orang-orang soleh
Tanah suci Mekah adalah merupakan lembah yang menyimpan banyak rentetan peristiwa-peristiwa bersejarah. Diantaranya sejarah nabi-nabi dan rasul, para sahabat Rasulullah,para tabiin, tabi’ut tabiin dan salafus soleh yang mengiringi mereka. Sesungguhnya peristiwa tersebut boleh diambil iktibar atau pengajaran untuk membangun jiwa seseorang. Rasulullah bersabda: "Sahabat-sahabatku itu laksana bintang-bintang dilangit, jika kamu mengikut sahabat-sahabatku niscaya kamu akan mendapat petunjuk." Di antara peristiwa yang terjadi ialah:
Pertemuan di antara Nabi Adam a.s. dengan Siti Hawa di Padang Arafah.Siti Hajar dan Nabi Ismail ditinggalkan di tengah padang pasir yg kering kontang di antara Bukit Safa dan Marwah.Pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. menyembelih Nabi Ismail sebagi menurut perintah Allah.Nabi Ismail a.s. dan Nabi Ibrahim mendirikan Kaabah.
Lahirnya seorang anak yatim yang miskin dan serba kekurangan. Tidak tahu membaca dan menulis tetapi mempunyai akhlak yang terpuji hingga mendapat gelaran 'Al-Amin.Medan Badar dan Uhud sewajarnya mengingati seseorang kepada kegigihan Rasulullah dan para sahabat menegakkan agama Allah.
Merasa bayangan Padang Mahsyar
Bagi orang yang belum mengerjakan haji tentunya belum pernah melihat dan mengikuti perhimpunan ratusan ribu manusia yang berkeadaan sama tiada beza. Itu semua dapat dirasai ketika mengerjakan haji. Perhimpunan di Padang Arafah menghilangkan status dan perbezaan hidup manusia sehingga tidak dapat kenal siapa kaya, hartawan, rakyat biasa, raja atau sebagainya. Semua mereka sama dengan memakai pakaian seledang kain putih tanpa jahit.
Syiar perpaduan umat Islam
 Ibadah Haji adalah merupakan syiar perpaduan umat Islam. Ini kerana mereka yang pergi ke Tanah Suci Makkah itu hanya mempunyai satu tujuan dan matlamat iaitu menunaikan perintah Allah atau kewajipan Rukun Islam yang kelima. Dalam memenuhi tujuan tersebut mereka melakukan perbuatan yang sama,memakai pakaian yang sama, mengikut tertib yang sama malah boleh dikatakan semuanya sama. Ini menggambarkan perpaduan dan satu hati umat Islam. Dan gambaran inilah yang semestinya diamalkan dalam kehidupan seharian umat Islam apabila mereka kembali ke negara asal masing-masing.
Sejatinya orang yang pulang melaksanakan ibadah haji membawa perubahan prilaku dan sikap akan bergaya hidup seperti calon penghuni surga, menjaga kemurnian tauhid, setia pada sunah-sunah Rasulullah,  serta meningkatkan kualitas iman dan ilmu. Selain itu, menjaga diri dari dosa besar maupun kecil dan senantiasa  menjalankan amal yang bakal mendatangkan ampunan Allah SWT.
Hal ini diungkapkan dalam hadis dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda,
 “Dari umrah yang satu ke umrah berikutnya akan menghapuskan dosa di antara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” ( HR Bukhari dan Muslim ). 
Akhlak para haji adalah akhlaknya orang mulia karena selama berhaji mereka telah melatih diri mengendalikan syahwat dan emosi pada tingkatan yang tinggi. Sepantasnya, akhlak seorang haji lebih mulia dibandingkan yang lainnya. Mereka tidak mengumbar kata-kata kotor pembangkit birahi dan  tidak melakukan dosa-dosa besar ( kefasikan ).
Seperti digambarkan pada hadis dari  Abu Hurairah yang menyatakan,  Rasulullah bersabda,  “Barang siapa yang berhaji ke rumah ini  (Ka’bah ) lalu tidak berkata-kata kotor dan tidak berbuat kefasikan, dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” ( HR Bukhari dan Muslim ).
Ibadah dan zikir para haji bukan hanya lebih banyak dari orang lain. Melainkan pula disertai tingkat keyakinan tinggi sebab pengenalan mereka terhadap Allah sudah baik dan didukung nilai tauhid yang kuat. Mereka memprioritaskan keselamatan dan kebahagiaan akhirat dibandingkan hal-hal yang bersifat duniawi.
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut ( membangga-banggakan ) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Di antara manusia ada orang yang bendoa, ‘Ya Tuhan kami, berilah kami ( kebaikan ) di dunia,’ dan tiadalah baginya bahagian ( yang menyenangkan ) di akhirat.” ( QS al-Baqarah [2] : 200 ).
Orang yang telah berhaji adalah mereka yang berupaya menyempurnakan keislamannya. Jadi, sudah selayaknya mereka menjadi teladan kesalehan individual dan sosial bagi semua. Hal ini ditunjukkan para haji sebelum periode kemerdekaan, mereka menjadi teladan dan motor penggerak dalam memerdekakan umat dan bangsa dari kejumudan syirik dan melawan penjajah. Ibadah haji dalam sejarah kehidupan umat Islam sarat dengan makna dan memiliki pengaruh yang besar dalam jalannya kehidupan umat dan perjuangan mereka. Pengaruh ibadah haji itu masih dapat dirasakan di negeri ini hingga pada masa penjajahan Belanda. Dengan ibadah haji, kaum Muslim dahulu mendapatkan pencerahan politik dan terbangkitkan spirit perjuangan mereka. Pengaruh ideologis dan politis inilah yang menyebabkan Belanda khawatir. Karena itu, tahun 1908 Belanda pernah menegaskan bahwa melarang umat Islam berhaji akan lebih baik daripada terpaksa harus menembak mati mereka. (H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hlm. 22)
Namun sayang, pada faktanya saat ini ibadah haji seolah kehilangan makna dan pengaruh politis dalam perjuangan Islam. Pelaksanaan ibadah haji kian hari kian menurun kualitasnya, yang menonjol darinya kini hanyalah ibadah ritual semata. Banyak jama’ah yang melaksanakan ibadah ini hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Lebih parah lagi tak sedikit yang menjalankannya seolah wisata religi bahkan dihiasi wisata belanja, membeli oleh-oleh untuk sanak keluarga dan tetangga. Begitu pun ketika melihat artis-artis ibukota, hari ini berangkat haji besok-besok sudah bermaksiat kembali. Walau sudah bergelar haji, mereka tak malu untuk mengumbar aurat atau cipika-cipiki dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.





1 komentar:

  1. assalamu alaikum krtik blognya bagus tapi tulisanya jadi tidak jelas krn backgorundnya terlalu ramai

    BalasHapus