Sabtu, 18 Agustus 2012

MEMAHAMI AYAT ALLAH


Walaupun ayat-ayat Allah sama ada ayat-ayat qauliah mahupun kauniah adalah terbuka kepada sesiapa sahaja yang ingin membaca dan menelitinya , namun terdapat berbagai halangan yang akan berhenti di hadapan kita yang didokong oleh iblis dan hawa nafsu bagi memastikan anak cucu adam terus berada di dalam kesesatan dan jauh dari petunjuk Allah s.w.t. Halangan-halangan ini muncul dalam bentuk sifat-sifat peribadi yang kontradik berpunca dari syahwat seperti nifaq, takabbur, zalim, dusta dan sifat-sifat yang berpunca dari salah faham atau syubhat seperti jahil, ragu-ragu, menyimpang. Kesemua ini menatijahkan kekufuran terhadap Allah s.w.t.

Hasyiah
Sifat yang berasal dari penyakit syahwat
1. Fasiq
Syarah
• Iaitu orang-orang yang melanggar janji Allah, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah menghubungkannya dan mereka melakukan bencana di atas muka bumi

Dalil
• 2:26-27: Sesungguhnya Allah tidak malu menjadikan nyamuk untuk menjadi perumpamaan atau benda yang lebih hina daripadanya. Adapun orang-orang yang beriman mengetahui bahawa yang demikian itu suatu kebenaran dari Tuhan tetapi orang-orang yang kafir berkata: Apakah maksud Allah dengan perumpamaan ini ?
• 59:19: Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah lalu Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq.

2. Sombong
Syarah
• Adalah orang yang hatinya engkar dan membantah terhadap ayat-ayat Allah dan mereka tidak beriman dengan Allah
Dalil
• 16:22 :
"Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong."
Orang-orang yang tidak beriman kepada hari Akhirat, hati mereka indkar dan merekaitu orang-orang yang sombong
• 40:35: Orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah tanpa keterangan yang sampai kepada mereka. Amat besarlah kebencian di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman (terhadap mereka). Demikianlah Allah mengecap/ menutup tiap-tiap hati orang yang sombong lagi ganas.
• 40:56 :
"Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah tanpa keterangan
• 7:12:
"Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah".
Allah telah menghalau Iblis dari syurga kerana bersikap sombong dan tidak mahu tunduk kepada arahan Allah.

3. Zalim
• 61:7: Siapakah yang terlebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diseru kepada Islam ? Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
• 32:22 : Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang diberikan peringatan dengan ayat-ayat tuhannya kemudian dia berpaling daripadanya&ldots;

4. Dusta
• 2:10 : Dalam hati mereka ada penyakit (syak wasangka) lalu ditambah Allah penyakit itu dan untuk mereka itu siksa yang pedih kerana mereka berdusta.
• 77:9-19:
"dan apabila langit telah dibelah,
"dan apabila gunung-gunung telah dihancurkan menjadi debu,
"dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka).
"(Niscaya dikatakan kepada mereka:) "Sampai hari apakah ditangguhkan (mengazab orang-orang kafir itu)?"
"Sampai hari keputusan.
"Dan tahukah kamu apakah hari keputusan itu?
"Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.
"Bukankah kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu?
"Lalu Kami iringkan (azab Kami terhadap) mereka dengan (mengazab) orang-orang yang datang kemudian.
"Demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang yang berdosa.
"Kecelakaan besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.".
Kecelakaan bagi mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah.

5. Banyak dosa
• 83:14 :
"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka."
Berkarat hati mereka kerana dosa yang mereka lakukan.
Semua sifat-sifat yang disebutkan di atas tadi akan berakhir dengan kemurkaan dari Allah s.w.t. Walau bagaimanapun sifat-sifat ini boleh dirawati dan diubati dengan usaha yang penuh mujahadah. Manakala kelompok kedua adalah sifat-sifat yang berasal dari penyakit syubhat yang ada pada personaliti seseorang.

7. Jahil
• 39-65:
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi."
Orang-orang yang tidak mengambil iktibar dari wahyu
8. Ragu-ragu
• 22:55:
"Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al Qur'an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat."
Orang-orang kafir sentiasa di dalam keraguan

9. Menyimpang
• 5:13 :
"(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik."
Oleh kerana mereka melanggar perjanjian , Allah kutuk mereka dan menjadikan hati mereka keras sehingga mereka mengubah kalimat Allah.

10. Lalai
• 7:179 :
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
Mereka memiliki hati, mata dan telinga tetapi semuanya tidak difungsikan dan mereka menjadi seumpama binatang lalu disediakan kepada mereka jahannam.
Semua sifat-sifat yang berpunca dari syubhat ini akan berakhir dengan kesesatan kerana ia menghalang dari menerima hidayah daripada Allah. Fenomena ini boleh diubati dengan ilmu-ilmu Islam yang di dapati lalu diaplikasikan dalam bentuk amalan

Jumat, 17 Agustus 2012

DIMANAKAH NILAI KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB…?


DIMANAKAH NILAI KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB…?

Ketika moralitas bangsa ini menjadi sorotan karena terdegradasi  muncul sekarang persoalan dari mana kita memulai perbaikan bangsa ini,bangsa Indonesia mempunyai nilai-nilai luhur yang menjadi pegangan peradaban berbangsa dan bernegara,tercermin dalam sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adildanBeradab”.
Kemanusiaan yang memiliki keadilan dan mempunyai Peradaban dalam segala sendi kehidupan.Keadilan yang menjadi identitas bangsa ini hanya menjadi sebuah impian masyrakat kecil yang terus menjadi objek ketidak adilan elitpolitik yang tidak beradab.Keadilan macam apa yang sesungguhnya yang terkandung dalam nilai Pancasila bagi segenap bangsa Indonesia itu.
Dalam sebuah karyanya Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang makna adil, yaitu
“menimbang yang samaberat, menyalahkan yang salahdanmembenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri  kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri .“Makaselama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat,pergaulan hidupmanusia,maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai,” tulisHamka.
Jika kita mengoreksi kenyataan hari ini ketidak adilan dan ketidak beradaban jadi satu paket dalam wacana perbaikan moralitas bangsa ini  ,dari pakar politik,jurnalis,praktisi pendidikan mulai mencari langkah untuk solusi perbaikan bangsanya. Persoalannya,penyakit ini sudah kronis tidak bias hanya diseminarkan dan dibahas di media,masyarakat Indonesia   hanya bias meratapi nasib bangsanya karena mereka tidak percaya lagi kepada para pemimpin  yang mereka amanahkan membangun peradaban yang  adil dan beradab.
 Ketidak adilan membuat mereka bertindak anarkis melanggar aturan dan hukum,akhirnya mereka buat sendiri pengadilan rakyat dan mereka sendiri yang menjadi hakimnya tak peduli aparat atau pejabat  di  dapannya.Masyarakat Indonesia sudah jenuh dengan suguhan sarapan pagi di meja informasi setiap hari harus menelan kenyataan batapa hancur potret bangsanya.Ironisnya tokoh dan pigur pemimpin yang mereka banggakan jadi dalang dan peran utama dalam mencoreng lembaran kelam negeri yang adil dan beradab.
Berbicara konsep adab memang sangat terkait dengan pemahaman tentang wahyu atau kitab suci konsep adab bukan sekedar mereka sopan dan santun tapi kesopanan dan kesantunan itu harus sesuai dengan harkat dan martabat sesuai dengan kehendak Ilahiyah dalam kata lain Ahlak.Tak bias kita pungkiri pornografi dan sekbebas,premanisme dikalangan pelajar yang kurang ajar menampar muka para pengajar yang hanya mementingkan otaknya cerdas dan kompotitif dieara globalisasi tapi luput memberikan pendidikan moral dan ahlak kepada siswanya.
Apa yang salah dengan kondisi hariini.?,siapa yang bertanggung jawab dengan semua ini?..tentulah kita mulai dari diri peribadi kita untuk muhasabah,pepatah mengatakan “buah  yang  kita petik hari ini adalah biji  yang  kita semai hari yang lalu”.
Negara ini begitu banyak alim-alim ulamanya,orang-orang cerdas,pemimpin-pemimpin yang jujur ingat itu belum jaminan mereka mampu mengurai ulang benang yang  sudah kusut jika kita tidak berperan aktif sebagai elemen bangsa untuk ikut serta mengambil bagian dari perbaikan bangsa ini.
Kembali kepada diri kita yang jadi bagian dari bangsa ini,mulai diri kita yang kita perbaiki dengan berpegang teguh kepada ajaran agama dan keyakinan.Begitu banyak prilaku dan kebijakan yang sudah menyimpang dari ajaran Agama, maupun morma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Tidak dapat kita pungkiri bahwa moralitas suatu masyarakat mencerminkan bagaimana kehidupan masyarakat itu.
Nabi Muhammad saw berhasil membangun peradaban Islam di Madinah, yakni suatu masyarakat  yang menegakkan adab dalam kehidupan mereka. Masyarakat beradab adalah masyarakat yang memuliakan orang yang beriman, berilmu, orang yang shalih, dan orang yang taqwa,bukan orang yang kuasa, bukan banyak harta, bukan keturunan raja, bukan berparas rupawan, dan bukan banyaknya pengikut.
Peradaban yang dibangun Nabi Muhammad saw di Madinah adalah sebuah contoh ideal. Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang haus ilmu, cintaibadah, dan cinta pengorbanan.Kondisi itu sangat jauh berbeda denngan kondisi masyarakat Jahiliah, yang merupakan masyarakat yang tidak beradab, alias masyarakat biadab.

Derita Para Pendengki

Ada yang lebih patut dikasihani melebihi orang yang menderita penyakit dengki. Jika umumnya manusia berpikir dan berbuat untuk sesuatu yang menguntungkan dirinya, atau sekedar menyenangkan hatinya, tidak demikian halnya dengan pendengki. Tak ada keuntungan sedikitpun yang dihasilkan pendengki. Tak ada pula kesenangan hati yang dipanen oleh orang yang hasud.
Kerisauan hati yang tak putus-putus, dialami oleh pendengki saat melihat orang lain mendapat nikmat. Semakin banyak nikmat disandang orang lain, makin menguat gelisah hati pendengki. Ini tidak akan berakhir hingga nikmat tersebut hilang dari orang yang didengki, bahkan terkadang belum terobati juga rasa dengki itu sebelum orang yang didengki tertimpa banyak kerugian. Dari sini kita tahu, betapa jahat seorang pendengki, ia tidak rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain bergelimang lara. Allah Ta'ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, "Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya." (QS. Ali Imran: 120)
Berbeda dengan kesedihan atau musibah yang dialami oleh orang yang bersabar, kegalauan yang terus menerus dirasakan oleh pendengki adalah musibah berat yang sama sekali tidak mendatangkan pahala, bahkan berpotensi menggerogoti kebaikan, sebagaimana api melalap kayu bakar yang telah kering.
Nabi SAW bersabda, "Hindarilah oleh kalian hasad, karena hasad bisa memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar." (HR Abu Dawud)
Maksud memakan kebaikan adalah menghilangkannya, membakarnya dan menghapus pengaruhnya, seperti yag disebutkan dalam Kitab Faidlul Qadiir. Ini juga menunjukkan bahwa kebaikan itu bisa sirna dalam sekejap jika terbakar oleh kedengkian. Makin besar api kedengkian, makin cepat melalap habis kebaikan. Al-Manawi di dalam at-Taisir bi Syarhi al-Jami'is Shaghir menjelaskan sebab dihilangkannya kebaikan pendengki adalah, "karena orang yang dengki itu berarti menganggap Allah Ta'ala jahil, tidak bisa memberikan sesuatu sesuai dengan proporsinya." Ia menganggap Allah salah dalam mengalamatkan nikmat dan karunia. Seakan ia lebih tahu dari Allah tentang siapa yang lebih layak untuk mendapatkannya. Sehingga layaklah pendengki dihilangkan kebaikan-kebaikannya. Sungguh rugi para pendengki, selalu risau di dunia, terancam bangkrut di akhirat.

Kemerdekaan Dalam Pandangan Islam

Saat ini kemerdekaan RI genap berusia 64 tahun. Ibarat seorang manusia, usia 64 tahun adalah usia tua dan telah melewati beberapa fase dalam hidupnya seperti masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Tetapi bila hal itu kita terapkan pada bangsa ini, kondisi riilnya sama sekali tidak membenarkan idealita itu. Bahkan sepertinya kita masih berada pada fase belajar dewasa. Ibarat manusia, pada dirinya terjadi pertumbuhan yang tidak normal, mengalami kelambanan dalam berfikir dan bertindak. Kenapakah hal itu bisa terjadi? Itulah yang harus sama-sama kita fikirkan melalui renungan ini.
Dalam pandangan Islam kemerdekaan tidak hanya diukur dari terbebasnya sebuah bangsa dari penjajahan kolonial. Memang itu tidak dipungkiri sebagai salah satu alat ukur. Karena kondisi terjajah membuat suatu bangsa bergantung kepada pihak yang menjajah. Kemudian tidak adanya kebebasan (hurriyah) bertindak dan menentukan nasib sendiri dari bangsa terjajah. Segala keputusannya tergantung pada si penjajah. Namun kemerdekaan yang hakiki baru dapat dirasakan bila semua makna ‘penjajahan’ tersebut betul-betul sirna dan berakhir dalam kehidupan suatu bangsa. Suatu bangsa baru dikatakan merdeka yang sesungguhnya, bila bangsa itu hidup mandiri, tidak menggantungkan nasibnya kepada negara lain. Kemandirian di sini khususnya menyangkut hal-hal yang general, seperti kemandirian ideologi, ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Kemandirian tidak berarti menutup pintu untuk bekerjasama dengan bangsa lain untuk meraih suatu tujuan yang menguntungkan bersama.
Kemandirian ekonomi berarti bangsa itu tidak menggantungkan hidupnya dan perputaran roda perekonomiannya dari bantuan dan pinjaman luar negeri. Kemandirian politik berarti bangsa itu betul-betul bebas dalam menentukan kemauan dan kebijakannya, tidak dipengaruhi oleh kemauan dan kepentingan negara-negara maju. Bila bangsanya menginginkan agar Islam diterapkan dalam hidup bernegara, penguasa negeri itu mengikuti tuntutan rakyatnya, bukan mendengar gertakan-gertakan negara maju yang senantiasa mengkhawatirkan pelaksanaan aturan Islam di negerinya sendiri. Kemandirian hukum lebih jelas lagi. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu melahirkan perundang-undangannya sendiri. Bukan menggunakan hukum produk negara penjajah.
Bangsa muslim baru dikatakan merdeka, bila mereka sudah mampu menerapkan syari’ah Islam dalam semua segi kehidupan mereka, bukan memilah-milah bagian yang sifatnya pribadi dan keluarga saja. Di sinilah perbedaan pokok antara Islam dengan ideologi lain. Islam mengharuskan pemeluknya untuk patuh dan tunduk kepada aturan hukumnya. Dalam masalah-masalah pokok, Islam tidak menyerahkan aturan itu kepada manusia, karena hal tersebut akan rentan dengan perebutan kepentingan. Oleh karenanya diambil alih oleh Allah swt yang mengetahui persis hal-hal yang sesuai dengan kebaikan manusia dan bahaya yang mengancamnya.
Demikian juga dengan kemandirian budaya, apabila budaya bangsa itu tidak diwarnai oleh infiltrasi budaya asing (barat), dalam kehidupan remaja, rumah tangga, etika pergaulan dsb. Dan lebih prinsip lagi adalah pola pikir atau sering disebut sebagai ‘ideologi’. Insan yang merdeka adalah insan yang tidak mengkopi pemikiran dan tidak mewarisi pola pikir kaum penjajah, seperti sekularisme, materialisme, hedonisme dan isme-isme lainnya. Akan tetapi insan yang berpegang teguh pada ideologinya sendiri. Bila ia seorang muslim, maka ideologi yang dianutnya seharusnya Islam. Sehingga pemikiran dan pola berpikirnya senantiasa mengacu kepada kerangka berfikir Al-Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w.
Apabila pilar-pilar tersebut belum terpenuhi secara global, maka sulitlah untuk mengatakan bangsa itu telah merdeka. Yang ada hanyalah merdeka dari penjajahan fisik dan militer sebagaimana yang lazim dikenal pada awal abad kedua puluh lalu. Bagaimana mungkin dapat disebut suatu bangsa merdeka bila masalah bangsa itu dari persoalan politik hingga budaya sangat dipengaruhi oleh kekuatan asing. Dari ujung rambut ke ujung kaki disetir oleh orang luar. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah ketergantungan untuk tidak menyebut keterjajahan ini disebabkan karena kelemahan dalam diri bangsa-bangsa yang baru merdeka atau sebuah kondisi yang dipaksakan oleh pihak penjajah kepada mereka, yang betapapun mereka mau lepas dari kerangkeng penjajah itu tetap saja akan terikat oleh rantai-rantai lainnya? Kedua kemungkinan ini dapat terjadi secara bersamaan. Bahwa bangsa-bangsa muslim sekarang belum menyadari sepenuhnya arti keterbebasan itu (yang ada hanya pada segelintir orang saja), memang suatu realita yang tidak dapat ditolak. Tetapi dari percaturan politik internasional kemungkinan kedua tadi juga tak dapat ditampik adanya. Tapi yang sadar akan hal ini hanya kalangan tertentu dari bangsa-bangsa muslim. Pada umumnya mereka sudah tertidur dengan nyanyian kemerdekaan dan ‘kesenangan’nya.
Sungguh amat jelas konspirasi negara-negara barat terhadap negara-negara muslim yang ingin melepaskan jerat penjajahan itu. Tetapi mereka yang betah dengan kondisi terjajah, akan dibiarkan begitu saja dan dimamahi oleh si penjajah. Penguasa yang ada di negara-negara muslim hanyalah perpanjangan tangan kaum kolonial saja. Sebab, kaum penjajah tidak bakal meninggalkan negara jajahannya sebelum yakin bahwa yang menggantikannya di kursi kekuasaan adalah orang-orang yang bercorak pikiran serupa dengan si penjajah. Jadi, seperti mengutip istilah Sayed Quthb keluar "Inggris putih", masuk "Inggris cokelat". Sebenarnya kaum kolonial barat tidak mengizinkan kita merdeka dengan sesungguhnya? Sehingga mereka berupaya dengan berbagai cara untuk tetap mempertahankan ketergantungan itu, yang diawali dari ketergantungan ekonomi, kemudian merembes kepada ketergantungan politik, dan tidak disadari masuk dalam jerat ketergantungan budaya, sementara ikatan hukum belum bisa dilepaskan, karena elit-elit yang masih terbelit oleh jerat ideologis.
Dalam konsep Islam kemerdekaan diawali dari keterbebasan `aqidah dan pola pikir manusia dari mengikuti ‘hawa nafsu’. Sebab menurut terminologi `aqidah hanya dikenal dua arus, 1. arus Allah s.w.t, 2. arus thaghut (Syaitan). Orang yang tidak mengikuti arus Allah s.w.t. sadar atau tidak sadar sudah pasti akan terkoptasi oleh arus thaghut. Orang beriman membebaskan diri dan keinginannya dari segala keterikatan di luar Allah. Arus Allah itu rambu-rambunya sudah jelas baik dalam dimensi politik, ekonomi, hukum, budaya, dll. Kesemuanya mengancu kepada ketentuan Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya. Manusia berfikir bagaimana menerapkan aturan itu dan mengembangkan ke bagian-bagian yang belum terjangkau secara harfiyah oleh aturan itu melalui mekanisme ‘ijtihad’. Manusia jangan seklai-kali berfikir ingin merubah atau lari dari aturan itu. Konsekuensinya harus dibayar dengan biaya yang sangat mahal ketersesatan di dunia dan neraka di akhirat. Itulah yang terjadi sekarang ini, dimana manusia kehilangan kemanusiaannya karena mengikuti ‘hawa nafsu’nya (thaghut). Sistem-sistem yang mereka ciptakan dengan tujuan awal untuk kesenangan dan kebahagiaan manusia, serta-merta berubah menjadi malapetaka yang mencelakakan kemanusiaan secara umum. Jadi manusia menjadi musuh dari produk-produknya sendiri. Ancaman kehancuran dunia datang dari mana-mana, dari politik, militer, ekonomi, lingkungan, budaya, hukum, dan sendi-sendi lainnya. Sudahkah tiba saatnya manusia khususnya umat Islam sadar dan ruju` kepada aturan Allah swt dan petunjuk (hadyu) Nabinya saw. dengan meretas berbagai ikatan dan jeratan pertama sekali dari benaknya (`aqidah), kemudian ke lingkungan sekitarnya. Tanpa dibayang-bayangi oleh perasaan ketakutan yang dihembusklan oleh syaitan dan tentara-tentaranya tentang kondisi kemajemukan bangsa, kebinekaan, nasionalisme dan sejenisnya.

HAKIKAT KEMERDEKAAN
Oleh: H. Marhadi Muhayar, Lc, MA
Islam sangat menghormati dan memuliakan manusia dengan memberikan kebebasan sepenuhnya untuk memilih, dalam semua aspek kehidupan tanpa terkecuali. Islam mengharamkan pemaksaan seseorang untuk mengikuti ajarannya, meskipun yang disampaikannya adalah kebenaran yang tidak diragukan. Karena pemaksaan merupakan pelanggaran atas kemerdekaan manusia dan kehormatannya, disamping tidak ada gunanya orang mengikuti dengan paksaan.
Ada banyak firman Allah s.w.t. tentang kemerdekaan atau kebebasan seorang manusia dalam menjalani kehidupan ini. Mereka diberikan pilihan sepenuhnya untuk memilih, jalan manakah yang akan mereka tempuh; baik atau buruk, benar atau salah. Di antaranya adalah firman Allah s.w.t. yang artinya: “Bebuatlah kamu, maka Allah, Rasul-Nya, dan Orang-orang beriman akan melihat perbuatanmu.” (QS. At Taubah [9]: 105). “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (untuk memilihnya). Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad [90]: 10-11). “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah [2]: 256). Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.” (QS. Al Kahfi [18]: 29).
Selain itu, setiap orang dipersilahkan untuk menjalankan syariat agamanya. Kewajiban seorang muslim hanyalah menyampaikan kebenaran dengan cara yang arif dan bijkasana. Allah s.w.t. berfirman, “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kaafiruun [109]: 6). Nabi Muhammad s.a.w. bahkan dinasehati Allah s.w.t. untuk tidak memaksa orang kafir beriman, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?.” (QS. Yunus [10]: 99)
Hakikat kemerdekaan dalam Islam adalah terbebasnya manusia dari segala bentuk ketergantungan dan belenggu kepada selain Allah s.w.t. Nilai-nilai seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah kemurnian tauhid.
Ketika hakikat kemerdekaan adalah tauhid, maka untuk menilai sejauh mana seseorang, masyarakat atau suatu negara telah merdeka, harus dilihat dari sejauh mana mereka masih diperbudak oleh aturan, norma, adat istiadat yang bukan dari Allah, tetapi dari bangsa asing, pemimpin diktator, atau oleh hawa nafsu mereka sendiri.
Dalam kerangka inilah Umar bin Khattab mengingatkan gubernurnya di Mesir, Amru bin Ash, ketika puteranya memukul seorang kristen koptik, “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan merdeka.” Kabarnya, Jean Jacques Rousseau pun mengutip kata-kata ini.
Ali bin Abi Thalib pun berwasiat kepada anaknya dengan wasiat emas, “Janganlah engkau menjadi hamba orang lain, karena Allah telah menjadikanmu merdeka.”
Arti kemerdekaan semacam ini adalah penghambaan hanya kepada Allah. Karena insan muslim tidak menjadi hamba kecuali hanya kepada Allah s.w.t. Ketika manusia mengerti hakikat ini maka ia benar-benar merdeka, karena penghambaannya kepada Allah membebaskan dirinya dari penghambaan kepada selain-Nya.
Tidak ada yang lebih membunuh kemerdekaan daripada menjadikan sebagian manusia sebagai tuhan bagi sebagian yang lain, dalam kondisi seperti ini manusia tidak bisa mengembalikan kemerdekaannya dan kehormatannya, kecuali jika mereka menghancurkan tuhan-tuhan palsu itu, terutama dalam diri orang-orang yang dianggap tuhan, padahal ia adalah manusia seperti mereka, tidak bisa memberikan manfaat atau bahaya kepada dirinya, tidak juga menghidupkan, mematikan dan membangkitkan.
Kemerdekaan pada hakikatnya, bukanlah semata-mata membebaskan diri dari belenggu penjajahan pihak lain. Tetapi lebih dari itu, kemerdekaan yang hakiki adalah kemampuan untuk membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu.
Manusia yang merdeka adalah manusia yang mampu memerdekakan dirinya dari berbagai penghambaan selain kepada Tuhannya. Seorang pejabat atau pemimpin yang merdeka adalah pejabat/ pemimpin yang mampu membebaskan dirinya dari ambisi-ambisi pribadi (dan keluarganya), dan hanya memikirkan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Dia memandang jabatan itu sebagai amanat yang harus dipertangungjawabkan. Seorang cendekiawan yang merdeka adalah yang selalu menyuarakan kebenaran dan keberpihakan kepada masyarakat banyak. Ia tidak akan melakukan upaya pembodohan kepada masyarakat, apalagi dengan menggunakan dalil-dalil dan alasan-alasan yang sengaja didistorsikan atau disalahtafsirkan.
Seorang penegak hukum (hakim, jaksa, polisi maupun pengacara) yang merdeka adalah orang yang memiliki komitmen kuat untuk menjadikan hukum yang benar sebagai panglima. Asas keadilan dan obyektivitas akan benar-benar dijunjungnya. Ia tidak akan berani mempermainkan hukum hanya karena iming-iming jabatan atau materi. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
Seorang pegawai yang merdeka adalah orang yang berusaha mengoptimalkan potensi dirinya untuk meraih prestasi kerja yang baik dan bermanfaat, dengan landasan keikhlasan. Rakyat dan bangsa yang merdeka adalah rakyat yang kritis dan bertanggungjawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan bangsanya. Rakyat yang merdeka tidak mudah diprovokasi oleh unsur-unsur yang tidak bertanggungjawab yang bermaksud menjadikan mereka sebagai obyek perasan dan kuda tunggangan.
Seorang muslim harus berlepas diri dari penghambaan kepada selain Allah. Tidak cukup hanya sekedar ucapan bahwa tidak ada tuhan selain Allah s.w.t. Di sinilah sebenarnya, inti kemerdekaan seorang muslim. Dalam kerangka ini, Ibnu Rajab berkata, “Sesungguhnya hati yang memahami lâ ilâha illallâh, lalu membenarkannya dengan penuh keikhlasan, maka akan tertanam kuat sikap penghambaan hanya kepada Allah dengan penuh penghormatan, rasa takut, cinta, pengharapan, pengagungan dan tawakkal, yang semua itu memenuhi ruang hatinya dan disingkirkannya penghambaan kepada selain Allah dari para makhluk-Nya. Jika semua itu terwujud maka tidak akan ada lagi rasa cinta, keinginan dan permintaan selain apa yang dikehendaki Allah, serta apa yang dicintai-Nya dan dituntut-Nya. Demikian juga akan tersingkir dari hatinya semua keinginan nafsu syahwat dan bisikan-bisikan syaitan, maka siapa yang mencintai sesuatu atau mentaatinya atau mecintai dan membenci karena sesuatu itu maka dia adalah tuhannya, dan siapa yang mencintai dan membenci semata-mata karena Allah, ta’at dan memusuhi karena Allah, maka Allah baginya adalah tuhan yang sebenarnya. Siapa yang mencintai karena hawa nafsunya dan membenci juga karenanya, atau ta’at dan memusuhi karena hawa nafsunya, maka hawa nafsu baginya adalah tuhannya, sebagaimana firman Allah s.w.t, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”, (QS. Al Furqaan [25]: 43)
Sesungguhnya Islam lahir membawa misi kemerdekaan dan kebebasan, serta ingin mengantarkan segenap manusia kembali kepada fitrah mereka yang suci. Misi kemerdekaan dan kebebasan yang diperjuangkan oleh Islam merupakan inti dari ideologi yang benar yaitu tahrîrul ‘ibad min ibâdatil ibâd ilâ ibâdati rabbil ibâd (membebaskan manusia dari penghambaan dan ketergantungan kepada sesama manusia menuju penghambaan kepada Tuhan sang pencipta). Allah menyebutkan didalam Al-Qur'an, “Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 1-2)
Kemerdekaan yang diinginkan oleh Islam bukan hanya terbatas pada kebebasan dari belenggu fisik semata, tapi lebih dari itu adalah kebebasan dari belenggu dan ketergantungan kepada selain Allah swt dalam berbagai bentuk dan modusnya, seperti:
1. Kebebasan dan pembebasan diri manusia dari belenggu hawa nafsu yang sering kali menjerumuskan seseorang kedalam sifat hewaniah bahkan sifat syaithoniah. Sehingga Allah s.w.t. mengecam sifat ini dalam salah satu firman Nya, QS. Al Furqaan [25]: 43.
2. Pembebasan diri dan bangsa dari belenggu prilaku dan akhlak madzmumah, akhlak yang tercela yang sekarang ini menjadi tontotan dan tuntunan sehari-hari. Betapa informasi dan kenyataan sehari-hari dilapangan ini sangat mengkhawatirkan masa depan generasi bangsa ini yang akan meneruskan estafeta perjuangan para pahlawan yang telah sudi mengorbankan harta, tenaga bahkan jiwa mereka untuk kedamain dan kesejahteraan para penerusnya. Pepatah Arab mengingatkan kepada kita akan pentingnya akhlak dalam membangun dan mempetahankan eksistensi sebuah bangsa “Sesungguhnya jati diri dan eksistrensi sebuah umat sangat ditentukan dan tergantung kepada akhlaknya, jika akhlak mereka rusak maka bangsa itu akan segera menemui kehancuran dan terus menerus berada dalam keterpurukan.”
3. Pembebasan diri dan bangsa dari budaya dan pandangan hidup hedonisme yang mengarah kepada semata-mata memburu kenikmatan duniawi sesaat secara berlebih-lebihan yang akhiranya akan melahirkan budaya persimifisme, yaitu budaya serba boleh. Mereka menuntut diilegalkannya praktek prostitusi, seks bebas, dan praktek kemaksiatan yang lainnya atas nama hak asasi manusia dengan melupakan hak asasi Allah s.w.t. Dalam kondisi semacam ini, biasanya segala aktifitas kebaikan, segala bentuk amar ma’ruf dan nahyi munkar akan dianggap sebagai penyakit, dianggap sebagai hama yang harus segera dibasmi seperti yang dikatakan oleh kaum nabi Luth terhadap nabi mereka. mereka mengatakan dengan budaya dan cara pandang hedonisme mereka, dengan budaya dan cara pandang persimifisme mereka. “Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: "Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda'wakan dirinya) bersih.” ( QS. An Naml [27]: 56)
4. Pembebasan diri dan umat dari praktek syirik dalam segala bentuknya, sehingga seperti yang dikhawatirkan oleh Imam Ali karamallahu wajhah tentang kondisi sebuah umat yang tidak ada nilai dan tidak ada harganya dimata Allah dan juga dimata manusia. Imam Ali menyebutkan “Akan datang atas manusia suatu zaman semangat mereka hanya berada disekitar perut mereka, kemuliaan mereka sangat tergantung kepada benda-benda fisik semata, jidat mereka ada pada perempuan-perempuan, agama mereka ada pada urusan dinar dan dirham. Mereka itulah orang-orang yang paling jahat dan tidak ada nilainya disisi Allah s.w.t.” Inilah yang dikhawatirklan oleh Imam Ali, manakala nilai dan semangat kemerdekaan ini tidak diisi dengan rasa syukur yang mendalam untuk memberdayakan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki demi mengharapkan ridha Allah s.w.t.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Celakalah budak dinar, budak dirham, dan budak khamishah (suatu jenis pakaian). Apabila diberi dia ridha, dan bila tidak diberi dia murka.” (HR. Al-Bukhari no. 2887 dari Abu Hurairah r.a.). Kata “budak” pada hadis ini telah dipakai oleh Rasulullah s.a.w. untuk menyebut orang-orang yang telah diperbudak oleh dunia. Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan dalam Fathul Barinya, “Budak dinar adalah orang yang mencarinya dengan semangat tinggi. Bila memperolehnya, dia menjaganya seolah-olah dia sebagai pelayan atau budak.” (Fathul Bari, 18/249).
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu berkata, “Dunia adalah araknya setan. Barangsiapa mabuk karenanya, maka dia tidak akan sadar sampai kematian menjemputnya dalam keadaan menyesal di tengah orang-orang yang merugi. Sedangkan bentuk cinta dunia yang paling ringan adalah lalai dari cinta dan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang harta bendanya telah melalaikannya dari dzikir kepada Allah s.w.t, sungguh dia termasuk orang yang merugi. Bila hati lalai dari berdzikir kepada Allah s.w.t, niscaya hati itu akan ditempati oleh setan, yang kemudian akan memalingkannya sesuai kehendak-Nya.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiadalah setiap orang di dunia ini melainkan sebagai tamu dan hartanya adalah pinjaman. Tentunya, tamu itu akan berangkat pergi dan pinjaman itu akan kembali kepada pemiliknya.” Rasulullah s.a.w. bersabda:
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ (اُصول الكافي، ج2، ص239، باب حبّ الدنيا والحرص عليها)
“Cinta dunia adalah pongkol segala kesalahan.” (Ushul al-Kafi, jilid 2 hal. 239)
Jadi, kemerdekaan bukan hanya sebuah makna keterbebasan dari belenggu penjajahan. Melainkan lebih dari itu keterbebasan dari belenggu nafsu dan cinta dunia. Bila makna ini benar-benar tercermin dalam pribadi sebuah bangsa, maka hakikat kemerdekaan akan benar-benar tercapai. Mengapa? Bisa dipastikan bahwa dengan terbebasnya dari belenggu nafsu dan cinta dunia keadilan akan tegak dengan jujur. Tegaknya keadilan akan melahirkan keamanan. Keamaman akan membuat semua kehidupan menjadi produktif dan sejahtera.
Itulah mengapa Al Qur’an dari awal sampai akhir selalu menekankan pentingnya manusia bersungguh-sungguh mentaati Allah s.w.t. dan melawan nafsu. Sebab hanya dengan mentaati Allah s.w.t. ia akan benar-benar merdeka