Saat ini kemerdekaan RI genap berusia 64 tahun. Ibarat
seorang manusia, usia 64 tahun adalah usia tua dan telah melewati beberapa fase
dalam hidupnya seperti masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Tetapi bila hal
itu kita terapkan pada bangsa ini, kondisi riilnya sama sekali tidak
membenarkan idealita itu. Bahkan sepertinya kita masih berada pada fase belajar
dewasa. Ibarat manusia, pada dirinya terjadi pertumbuhan yang tidak normal,
mengalami kelambanan dalam berfikir dan bertindak. Kenapakah hal itu bisa terjadi?
Itulah yang harus sama-sama kita fikirkan melalui renungan ini.
Dalam pandangan Islam kemerdekaan tidak hanya diukur
dari terbebasnya sebuah bangsa dari penjajahan kolonial. Memang itu tidak
dipungkiri sebagai salah satu alat ukur. Karena kondisi terjajah membuat suatu
bangsa bergantung kepada pihak yang menjajah. Kemudian tidak adanya kebebasan
(hurriyah) bertindak dan menentukan nasib sendiri dari bangsa terjajah. Segala
keputusannya tergantung pada si penjajah. Namun kemerdekaan yang hakiki baru
dapat dirasakan bila semua makna ‘penjajahan’ tersebut betul-betul sirna dan
berakhir dalam kehidupan suatu bangsa. Suatu bangsa baru dikatakan merdeka yang
sesungguhnya, bila bangsa itu hidup mandiri, tidak menggantungkan nasibnya
kepada negara lain. Kemandirian di sini khususnya menyangkut hal-hal yang
general, seperti kemandirian ideologi, ekonomi, politik, hukum, budaya,
pendidikan, dan sebagainya. Kemandirian tidak berarti menutup pintu untuk
bekerjasama dengan bangsa lain untuk meraih suatu tujuan yang menguntungkan
bersama.
Kemandirian ekonomi berarti bangsa itu tidak
menggantungkan hidupnya dan perputaran roda perekonomiannya dari bantuan dan
pinjaman luar negeri. Kemandirian politik berarti bangsa itu betul-betul bebas
dalam menentukan kemauan dan kebijakannya, tidak dipengaruhi oleh kemauan dan
kepentingan negara-negara maju. Bila bangsanya menginginkan agar Islam
diterapkan dalam hidup bernegara, penguasa negeri itu mengikuti tuntutan
rakyatnya, bukan mendengar gertakan-gertakan negara maju yang senantiasa
mengkhawatirkan pelaksanaan aturan Islam di negerinya sendiri. Kemandirian
hukum lebih jelas lagi. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu melahirkan
perundang-undangannya sendiri. Bukan menggunakan hukum produk negara penjajah.
Bangsa muslim baru dikatakan merdeka, bila mereka
sudah mampu menerapkan syari’ah Islam dalam semua segi kehidupan mereka, bukan
memilah-milah bagian yang sifatnya pribadi dan keluarga saja. Di sinilah
perbedaan pokok antara Islam dengan ideologi lain. Islam mengharuskan
pemeluknya untuk patuh dan tunduk kepada aturan hukumnya. Dalam masalah-masalah
pokok, Islam tidak menyerahkan aturan itu kepada manusia, karena hal tersebut
akan rentan dengan perebutan kepentingan. Oleh karenanya diambil alih oleh
Allah swt yang mengetahui persis hal-hal yang sesuai dengan kebaikan manusia
dan bahaya yang mengancamnya.
Demikian juga dengan kemandirian budaya, apabila
budaya bangsa itu tidak diwarnai oleh infiltrasi budaya asing (barat), dalam
kehidupan remaja, rumah tangga, etika pergaulan dsb. Dan lebih prinsip lagi
adalah pola pikir atau sering disebut sebagai ‘ideologi’. Insan yang merdeka
adalah insan yang tidak mengkopi pemikiran dan tidak mewarisi pola pikir kaum
penjajah, seperti sekularisme, materialisme, hedonisme dan isme-isme lainnya.
Akan tetapi insan yang berpegang teguh pada ideologinya sendiri. Bila ia
seorang muslim, maka ideologi yang dianutnya seharusnya Islam. Sehingga
pemikiran dan pola berpikirnya senantiasa mengacu kepada kerangka berfikir
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w.
Apabila pilar-pilar tersebut belum terpenuhi secara
global, maka sulitlah untuk mengatakan bangsa itu telah merdeka. Yang ada
hanyalah merdeka dari penjajahan fisik dan militer sebagaimana yang lazim
dikenal pada awal abad kedua puluh lalu. Bagaimana mungkin dapat disebut suatu
bangsa merdeka bila masalah bangsa itu dari persoalan politik hingga budaya
sangat dipengaruhi oleh kekuatan asing. Dari ujung rambut ke ujung kaki disetir
oleh orang luar. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah ketergantungan untuk
tidak menyebut keterjajahan ini disebabkan karena kelemahan dalam diri
bangsa-bangsa yang baru merdeka atau sebuah kondisi yang dipaksakan oleh pihak
penjajah kepada mereka, yang betapapun mereka mau lepas dari kerangkeng
penjajah itu tetap saja akan terikat oleh rantai-rantai lainnya? Kedua
kemungkinan ini dapat terjadi secara bersamaan. Bahwa bangsa-bangsa muslim
sekarang belum menyadari sepenuhnya arti keterbebasan itu (yang ada hanya pada
segelintir orang saja), memang suatu realita yang tidak dapat ditolak. Tetapi
dari percaturan politik internasional kemungkinan kedua tadi juga tak dapat
ditampik adanya. Tapi yang sadar akan hal ini hanya kalangan tertentu dari
bangsa-bangsa muslim. Pada umumnya mereka sudah tertidur dengan nyanyian kemerdekaan
dan ‘kesenangan’nya.
Sungguh amat jelas konspirasi negara-negara barat
terhadap negara-negara muslim yang ingin melepaskan jerat penjajahan itu.
Tetapi mereka yang betah dengan kondisi terjajah, akan dibiarkan begitu saja
dan dimamahi oleh si penjajah. Penguasa yang ada di negara-negara muslim
hanyalah perpanjangan tangan kaum kolonial saja. Sebab, kaum penjajah tidak
bakal meninggalkan negara jajahannya sebelum yakin bahwa yang menggantikannya
di kursi kekuasaan adalah orang-orang yang bercorak pikiran serupa dengan si
penjajah. Jadi, seperti mengutip istilah Sayed Quthb keluar "Inggris
putih", masuk "Inggris cokelat". Sebenarnya kaum kolonial barat
tidak mengizinkan kita merdeka dengan sesungguhnya? Sehingga mereka berupaya dengan
berbagai cara untuk tetap mempertahankan ketergantungan itu, yang diawali dari
ketergantungan ekonomi, kemudian merembes kepada ketergantungan politik, dan
tidak disadari masuk dalam jerat ketergantungan budaya, sementara ikatan hukum
belum bisa dilepaskan, karena elit-elit yang masih terbelit oleh jerat
ideologis.
Dalam konsep Islam kemerdekaan diawali dari
keterbebasan `aqidah dan pola pikir manusia dari mengikuti ‘hawa nafsu’. Sebab
menurut terminologi `aqidah hanya dikenal dua arus, 1. arus Allah s.w.t, 2.
arus thaghut (Syaitan). Orang yang tidak mengikuti arus Allah s.w.t. sadar atau
tidak sadar sudah pasti akan terkoptasi oleh arus thaghut. Orang beriman
membebaskan diri dan keinginannya dari segala keterikatan di luar Allah. Arus
Allah itu rambu-rambunya sudah jelas baik dalam dimensi politik, ekonomi,
hukum, budaya, dll. Kesemuanya mengancu kepada ketentuan Allah dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi-Nya. Manusia berfikir bagaimana menerapkan aturan itu dan
mengembangkan ke bagian-bagian yang belum terjangkau secara harfiyah oleh
aturan itu melalui mekanisme ‘ijtihad’. Manusia jangan seklai-kali berfikir
ingin merubah atau lari dari aturan itu. Konsekuensinya harus dibayar dengan
biaya yang sangat mahal ketersesatan di dunia dan neraka di akhirat. Itulah
yang terjadi sekarang ini, dimana manusia kehilangan kemanusiaannya karena
mengikuti ‘hawa nafsu’nya (thaghut). Sistem-sistem yang mereka ciptakan dengan
tujuan awal untuk kesenangan dan kebahagiaan manusia, serta-merta berubah
menjadi malapetaka yang mencelakakan kemanusiaan secara umum. Jadi manusia
menjadi musuh dari produk-produknya sendiri. Ancaman kehancuran dunia datang
dari mana-mana, dari politik, militer, ekonomi, lingkungan, budaya, hukum, dan
sendi-sendi lainnya. Sudahkah tiba saatnya manusia khususnya umat Islam sadar
dan ruju` kepada aturan Allah swt dan petunjuk (hadyu) Nabinya saw. dengan
meretas berbagai ikatan dan jeratan pertama sekali dari benaknya (`aqidah),
kemudian ke lingkungan sekitarnya. Tanpa dibayang-bayangi oleh perasaan
ketakutan yang dihembusklan oleh syaitan dan tentara-tentaranya tentang kondisi
kemajemukan bangsa, kebinekaan, nasionalisme dan sejenisnya.
HAKIKAT KEMERDEKAAN
Oleh: H. Marhadi Muhayar, Lc, MA
Islam sangat menghormati dan memuliakan manusia dengan
memberikan kebebasan sepenuhnya untuk memilih, dalam semua aspek kehidupan
tanpa terkecuali. Islam mengharamkan pemaksaan seseorang untuk mengikuti
ajarannya, meskipun yang disampaikannya adalah kebenaran yang tidak diragukan.
Karena pemaksaan merupakan pelanggaran atas kemerdekaan manusia dan
kehormatannya, disamping tidak ada gunanya orang mengikuti dengan paksaan.
Ada banyak firman Allah s.w.t. tentang kemerdekaan
atau kebebasan seorang manusia dalam menjalani kehidupan ini. Mereka diberikan
pilihan sepenuhnya untuk memilih, jalan manakah yang akan mereka tempuh; baik
atau buruk, benar atau salah. Di antaranya adalah firman Allah s.w.t. yang
artinya: “Bebuatlah kamu, maka Allah, Rasul-Nya, dan Orang-orang beriman akan
melihat perbuatanmu.” (QS. At Taubah
[9]: 105). “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (untuk memilihnya). Tetapi
Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad [90]: 10-11). “Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat.” (QS. Al Baqarah [2]: 256). Kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.” (QS. Al Kahfi [18]: 29).
Selain itu, setiap orang dipersilahkan untuk menjalankan
syariat agamanya. Kewajiban seorang muslim hanyalah menyampaikan kebenaran
dengan cara yang arif dan bijkasana. Allah s.w.t. berfirman, “Untukmu agamamu, dan untukkulah
agamaku.” (QS. Al-Kaafiruun [109]: 6). Nabi
Muhammad s.a.w. bahkan dinasehati Allah s.w.t. untuk tidak memaksa orang kafir
beriman, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?.” (QS. Yunus [10]: 99)
Hakikat kemerdekaan dalam Islam adalah terbebasnya
manusia dari segala bentuk ketergantungan dan belenggu kepada selain Allah
s.w.t. Nilai-nilai seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah kemurnian
tauhid.
Ketika hakikat kemerdekaan adalah tauhid, maka untuk
menilai sejauh mana seseorang, masyarakat atau suatu negara telah merdeka,
harus dilihat dari sejauh mana mereka masih diperbudak oleh aturan, norma, adat
istiadat yang bukan dari Allah, tetapi dari bangsa asing, pemimpin diktator,
atau oleh hawa nafsu mereka sendiri.
Dalam kerangka inilah Umar bin Khattab mengingatkan
gubernurnya di Mesir, Amru bin Ash, ketika puteranya memukul seorang kristen
koptik, “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu
mereka dalam keadaan merdeka.” Kabarnya, Jean Jacques Rousseau pun mengutip kata-kata ini.
Ali bin Abi Thalib pun berwasiat kepada anaknya dengan
wasiat emas, “Janganlah engkau menjadi hamba orang lain, karena Allah telah menjadikanmu
merdeka.”
Arti kemerdekaan semacam ini adalah penghambaan hanya
kepada Allah. Karena insan muslim tidak menjadi hamba kecuali hanya kepada
Allah s.w.t. Ketika manusia mengerti hakikat ini maka ia benar-benar merdeka,
karena penghambaannya kepada Allah membebaskan dirinya dari penghambaan kepada
selain-Nya.
Tidak ada yang lebih membunuh kemerdekaan daripada menjadikan sebagian
manusia sebagai tuhan bagi sebagian yang lain, dalam kondisi seperti ini
manusia tidak bisa mengembalikan kemerdekaannya dan kehormatannya, kecuali jika
mereka menghancurkan tuhan-tuhan palsu itu, terutama dalam diri orang-orang
yang dianggap tuhan, padahal ia adalah manusia seperti mereka, tidak bisa
memberikan manfaat atau bahaya kepada dirinya, tidak juga menghidupkan,
mematikan dan membangkitkan.
Kemerdekaan pada hakikatnya, bukanlah semata-mata
membebaskan diri dari belenggu penjajahan pihak lain. Tetapi lebih dari itu,
kemerdekaan yang hakiki adalah kemampuan untuk membebaskan diri dari belenggu
hawa nafsu.
Manusia yang merdeka adalah manusia yang mampu
memerdekakan dirinya dari berbagai penghambaan selain kepada Tuhannya. Seorang
pejabat atau pemimpin yang merdeka adalah pejabat/ pemimpin yang mampu
membebaskan dirinya dari ambisi-ambisi pribadi (dan keluarganya), dan hanya
memikirkan kepentingan dan kesejahteraan rakyatnya. Dia memandang jabatan itu
sebagai amanat yang harus dipertangungjawabkan. Seorang cendekiawan yang
merdeka adalah yang selalu menyuarakan kebenaran dan keberpihakan kepada
masyarakat banyak. Ia tidak akan melakukan upaya pembodohan kepada masyarakat,
apalagi dengan menggunakan dalil-dalil dan alasan-alasan yang sengaja
didistorsikan atau disalahtafsirkan.
Seorang penegak hukum (hakim, jaksa, polisi maupun
pengacara) yang merdeka adalah orang yang memiliki komitmen kuat untuk
menjadikan hukum yang benar sebagai panglima. Asas keadilan dan obyektivitas
akan benar-benar dijunjungnya. Ia tidak akan berani mempermainkan hukum hanya
karena iming-iming jabatan atau materi. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
Seorang pegawai yang merdeka adalah orang yang
berusaha mengoptimalkan potensi dirinya untuk meraih prestasi kerja yang baik
dan bermanfaat, dengan landasan keikhlasan. Rakyat dan bangsa yang merdeka
adalah rakyat yang kritis dan bertanggungjawab terhadap keselamatan dan
kemaslahatan bangsanya. Rakyat yang merdeka tidak mudah diprovokasi oleh
unsur-unsur yang tidak bertanggungjawab yang bermaksud menjadikan mereka
sebagai obyek perasan dan kuda tunggangan.
Seorang muslim harus berlepas diri dari penghambaan
kepada selain Allah. Tidak cukup hanya sekedar ucapan bahwa tidak ada tuhan
selain Allah s.w.t. Di sinilah sebenarnya, inti kemerdekaan seorang muslim.
Dalam kerangka ini, Ibnu Rajab berkata, “Sesungguhnya hati yang memahami lâ ilâha illallâh, lalu membenarkannya dengan penuh keikhlasan, maka
akan tertanam kuat sikap penghambaan hanya kepada Allah dengan penuh
penghormatan, rasa takut, cinta, pengharapan, pengagungan dan tawakkal, yang
semua itu memenuhi ruang hatinya dan disingkirkannya penghambaan kepada selain
Allah dari para makhluk-Nya. Jika semua itu terwujud maka tidak akan ada lagi
rasa cinta, keinginan dan permintaan selain apa yang dikehendaki Allah, serta
apa yang dicintai-Nya dan dituntut-Nya. Demikian juga akan tersingkir dari
hatinya semua keinginan nafsu syahwat dan bisikan-bisikan syaitan, maka siapa yang
mencintai sesuatu atau mentaatinya atau mecintai dan membenci karena sesuatu
itu maka dia adalah tuhannya, dan siapa yang mencintai dan membenci semata-mata
karena Allah, ta’at dan memusuhi karena Allah, maka Allah baginya adalah tuhan
yang sebenarnya. Siapa yang mencintai karena hawa nafsunya dan membenci juga
karenanya, atau ta’at dan memusuhi karena hawa nafsunya, maka hawa nafsu
baginya adalah tuhannya, sebagaimana firman Allah s.w.t, “Terangkanlah kepadaku tentang
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat
menjadi pemelihara atasnya?”, (QS. Al Furqaan [25]: 43)
Sesungguhnya Islam lahir membawa misi kemerdekaan dan kebebasan, serta
ingin mengantarkan segenap manusia kembali kepada fitrah mereka yang suci. Misi
kemerdekaan dan kebebasan yang diperjuangkan oleh Islam merupakan inti dari
ideologi yang benar yaitu tahrîrul ‘ibad min ibâdatil ibâd ilâ ibâdati rabbil ibâd (membebaskan manusia dari penghambaan dan
ketergantungan kepada sesama manusia menuju penghambaan kepada Tuhan sang
pencipta). Allah menyebutkan didalam Al-Qur'an, “Alif, laam raa. (ini adalah) kitab
yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita
kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan
yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Allah-lah yang memiliki segala apa yang di
langit dan di bumi. dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan
yang sangat pedih.” (QS. Ibrahim
[14]: 1-2)
Kemerdekaan yang diinginkan oleh Islam bukan hanya terbatas
pada kebebasan dari belenggu fisik semata, tapi lebih dari itu adalah kebebasan
dari belenggu dan ketergantungan kepada selain Allah swt dalam berbagai bentuk
dan modusnya, seperti:
1. Kebebasan dan
pembebasan diri manusia dari belenggu hawa nafsu yang sering kali menjerumuskan
seseorang kedalam sifat hewaniah bahkan sifat syaithoniah. Sehingga Allah
s.w.t. mengecam sifat ini dalam salah satu firman Nya, QS. Al Furqaan [25]: 43.
2. Pembebasan diri dan bangsa dari belenggu prilaku dan
akhlak madzmumah, akhlak yang tercela yang sekarang ini menjadi tontotan dan
tuntunan sehari-hari. Betapa informasi dan kenyataan sehari-hari dilapangan ini
sangat mengkhawatirkan masa depan generasi bangsa ini yang akan meneruskan
estafeta perjuangan para pahlawan yang telah sudi mengorbankan harta, tenaga
bahkan jiwa mereka untuk kedamain dan kesejahteraan para penerusnya. Pepatah
Arab mengingatkan kepada kita akan pentingnya akhlak dalam membangun dan
mempetahankan eksistensi sebuah bangsa “Sesungguhnya jati diri dan eksistrensi sebuah umat
sangat ditentukan dan tergantung kepada akhlaknya, jika akhlak mereka rusak
maka bangsa itu akan segera menemui kehancuran dan terus menerus berada dalam
keterpurukan.”
3. Pembebasan diri
dan bangsa dari budaya dan pandangan hidup hedonisme yang mengarah kepada
semata-mata memburu kenikmatan duniawi sesaat secara berlebih-lebihan yang
akhiranya akan melahirkan budaya persimifisme, yaitu budaya serba boleh. Mereka
menuntut diilegalkannya praktek prostitusi, seks bebas, dan praktek kemaksiatan
yang lainnya atas nama hak asasi manusia dengan melupakan hak asasi Allah
s.w.t. Dalam kondisi semacam ini, biasanya segala aktifitas kebaikan, segala
bentuk amar ma’ruf dan nahyi munkar akan dianggap sebagai penyakit, dianggap
sebagai hama yang harus segera dibasmi seperti yang dikatakan oleh kaum nabi
Luth terhadap nabi mereka. mereka mengatakan dengan budaya dan cara pandang
hedonisme mereka, dengan budaya dan cara pandang persimifisme mereka. “Maka tidak lain jawaban kaumnya
melainkan mengatakan: "Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu;
karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda'wakan dirinya) bersih.” ( QS. An Naml [27]: 56)
4. Pembebasan diri
dan umat dari praktek syirik dalam segala bentuknya, sehingga seperti yang
dikhawatirkan oleh Imam Ali karamallahu wajhah tentang kondisi sebuah umat yang
tidak ada nilai dan tidak ada harganya dimata Allah dan juga dimata manusia.
Imam Ali menyebutkan “Akan datang atas manusia suatu zaman semangat mereka hanya berada
disekitar perut mereka, kemuliaan mereka sangat tergantung kepada benda-benda
fisik semata, jidat mereka ada pada perempuan-perempuan, agama mereka ada pada
urusan dinar dan dirham. Mereka itulah orang-orang yang paling jahat dan tidak
ada nilainya disisi Allah s.w.t.” Inilah yang dikhawatirklan oleh Imam Ali, manakala nilai dan semangat
kemerdekaan ini tidak diisi dengan rasa syukur yang mendalam untuk
memberdayakan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki demi mengharapkan
ridha Allah s.w.t.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Celakalah budak dinar, budak dirham, dan budak
khamishah (suatu jenis pakaian). Apabila diberi dia ridha, dan bila tidak
diberi dia murka.” (HR.
Al-Bukhari no. 2887 dari Abu Hurairah r.a.). Kata “budak” pada hadis ini telah
dipakai oleh Rasulullah s.a.w. untuk menyebut orang-orang yang telah diperbudak
oleh dunia. Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan dalam Fathul Barinya, “Budak dinar adalah orang yang
mencarinya dengan semangat tinggi. Bila memperolehnya, dia menjaganya
seolah-olah dia sebagai pelayan atau budak.” (Fathul Bari, 18/249).
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu berkata, “Dunia adalah araknya setan.
Barangsiapa mabuk karenanya, maka dia tidak akan sadar sampai kematian
menjemputnya dalam keadaan menyesal di tengah orang-orang yang merugi.
Sedangkan bentuk cinta dunia yang paling ringan adalah lalai dari cinta dan
dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang harta bendanya telah
melalaikannya dari dzikir kepada Allah s.w.t, sungguh dia termasuk orang yang
merugi. Bila hati lalai dari berdzikir kepada Allah s.w.t, niscaya hati itu
akan ditempati oleh setan, yang kemudian akan memalingkannya sesuai
kehendak-Nya.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tiadalah setiap orang di dunia ini
melainkan sebagai tamu dan hartanya adalah pinjaman. Tentunya, tamu itu akan
berangkat pergi dan pinjaman itu akan kembali kepada pemiliknya.” Rasulullah
s.a.w. bersabda:
حُبُّ
الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ (اُصول الكافي، ج2، ص239،
باب حبّ الدنيا والحرص عليها)
“Cinta dunia adalah pongkol segala kesalahan.” (Ushul al-Kafi, jilid 2 hal. 239)
Jadi, kemerdekaan bukan hanya sebuah makna
keterbebasan dari belenggu penjajahan. Melainkan lebih dari itu keterbebasan
dari belenggu nafsu dan cinta dunia. Bila makna ini benar-benar tercermin dalam
pribadi sebuah bangsa, maka hakikat kemerdekaan akan benar-benar tercapai.
Mengapa? Bisa dipastikan bahwa dengan terbebasnya dari belenggu nafsu dan cinta
dunia keadilan akan tegak dengan jujur. Tegaknya keadilan akan melahirkan
keamanan. Keamaman akan membuat semua kehidupan menjadi produktif dan
sejahtera.
Itulah mengapa Al Qur’an dari awal sampai akhir selalu
menekankan pentingnya manusia bersungguh-sungguh mentaati Allah s.w.t. dan
melawan nafsu. Sebab hanya dengan mentaati Allah s.w.t. ia akan benar-benar
merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar