Rabu, 10 Oktober 2012

Cetak biru deradikalisasi nasional

Pemerintah tengah menyiapkan cetak biru untuk program deradikalisasi nasional untuk mengatasi terorisme.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT mengatakan selama ini program deradikalisasi dijalankan secara parsial dan membantah deradikalisasi yang dilakukan selama ini telah gagal.
"BNPT itu baru 2010 berdiri saya kira keliru lantas bahwa deradikalisasi tidak berhasil, bukan itu, jika ditarik lebih jauh bangsa ini tidak berhasil memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama," kata Kepala BNPT Ansyaad Mbai.
"Sekarang deradikalisasi kita mulai, ga usah mencari… nah tiap ada teroris deradikalisasi yang disalahkan ya ga logis lah.." tambah dia.
Dalam keterangannya pertengahan September lalu, Wakil Presiden Boediono mengatakan Indonesia memerlukan program yang utuh untuk mengatasi radikalisasi. Sebab selama ini upaya yang dilakukan oleh sejumlah instansi tidak cukup karena belum adanya aksi bersama dan koordinasi.
"Cetak biru deradikalisasi iniharus benar-benar tajam agar tepat pata sasaran," kata Boediono.
Ansyaad menjelaskan program deradikalisasi ini dimulai sekitar 10 tahun lalu, ketika tim Densus 88 mengaku tidak dapat mengorek keterangan dari para tersangka kasus terorisme.
Sarlito Wirawan
Program deradikalisasi oleh Prof. Sarlito salah satunya pemberdayaan dakwah.

"Densusnya bingung, kan kita ga bisa kayak jaman Kopkamtib dulu kita pukulin, kita rendam, kita setrum, kita betul-betul murni menegakkan HAM, orang ini kan harus ngomong. Nah bagaimana harus ngomong, akhirnya muncul oh perlu ada deradikalisasi," jelas Ansyaad.
Menurut Ansyaad dalam melakukan deradikalisasi ini, aparat Densus 88 mendekati keluarga tersangka terorisme dan memberikan bantuan bagi anggota keluarga mereka yang putus sekolah, sakit dan kebutuhan keluarga lainnya.
"Ada yang kawin dikawinkan, itu kantong sendiri, itu kita mulai deradikalisasi, dan tidak terprogram dan tidak ada anggaran itu untuk polisi dan polkam juga tidak ada. Baru sekarang ini disepakati deradikalisasi dijadikan program nasional yang dibiayai APBN," kata Ansyaad.
Meski demikian, Ansyaad tidak menyebut jumlah anggaran untuk program deradikalisasi ini.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT Irfan Idris menjelaskan program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT adalah dengan melibatkan para pelaku tindak pidana terorisme yang masih berada di Lembaga Pemasyarakatan.
Selain itu juga melakukan upaya pencegahan dengan mengajak pemimpin daerah dan tokoh agama untuk melakukan upaya preventif mengatasi radikalisme.
Menurut Irfan beberapa program yang dilakukan antara lain melalui pendekatan budaya, bisnis dan ideologi.
"Justru dengan adanya Toriq yang menyerahkan diri dan tidak jadi melakukan bom bunuh diri itu justru sebuah keberhasilan, dan gaungnya besar, jadi yang sepuluh itu tertangkap," kata Irfan.
BNPT juga membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme untuk mencegah penyebaran paham radikal, dan sudah berdiri di 10 kota.

Radikal dan kekerasan

Sarlito Wirawan
Psikolog Profesor Sarlito Wirawan yang juga terlibat dalam program deradikalisasi, mengatakan pemahaman radikal itu tidak masalah sepanjang tidak dibarengi dengan kekerasan.
"Nah jika radikal dibarengi dengan kekerasan itu yang berbahaya, kekerasan juga bisa bermacam-macam tingkatnya, ada yang menjadi otaknya, operator, pengantin dan ada juga yang supporting" kata dia.
Sejak 2009 lalu, Sarlito dan tim dari Universitas Indonesia melakukan program deradikalisasi dengan melakukan pendekatan secara personal kepada para mantan narapidana kasus terorisme.
"Jangan dihadapkan ayat dengan ayat lain, ini yang dilakukan di Arab Saudi dilakukan oleh ulama, tekniknya itu jangan ngomong soal itu tetapi soal keluarganya, kemudian sambil ngomong agama, agama dijadikan acuan tetapi tidak dijadikan bahan pembicaraan pokok," jelas Sarlito.
"Sebagian besar itu adalah mantan narapidana yang sudah menjalani keluar, ada yang mantan Kompak, Poso, Ambon mantan Afghanistan, mereka dibagi dalam kelompok kelcil dalam sekitar 15 orang dua dipenjara Cipinang dan rutan Polda Metro Jaya dan satu lagi diluar yang sudah bebas," tambah Sarlito.
Menurut Sarlito pendekatan personal ini dapat mengubah cara pandang mereka.
"Itu sesi 1 minggu sekali, dialog dalam berbagai hal, setelah diteliti tiap pertemuan dicatat terlihat perkembangannya, dan kelihatan pandangan tidak radikal lagi, nah ketika bom Marriot 2 itu mengatakan bahwa itu salah," jelas Sarlito.
Dia mengaku ini bukan pekerjaan yang gampang dan membutuhkan waktu.
Setelah itu, Sarlito mengatakan tahapan selanjutnya peserta program ini diberikan pelatihan, dan disebarkan ke sejumlah wilayah untuk berdakwah agar umat tidak memilih jalan kekerasan.
Selain itu, menurut Sarlito, para mantan pelaku ini juga dibantu untuk kembali ke masyarakat.
Mantan narapidana kasus peledakan bom Bali 1 yang meminta agar identitasnya hanya di insialnya M, merupakan salah seorang yang mengikuti program pemberdayaan dakwah yang dimotori oleh Sarlito dan timnya.
Sejak 2002 lalu, M menjalani hukuman sampai 2009 lalu, dan kemudian tinggal di Bekasi dan mengajar anak-anak mengaji.
"Intinya itu dakwah dan bagaimana kita dapat beradaptasi dengan masyarakat, dan menunjukkan kita baik terhadap masyarakat tidak seperti image yang diluar," kata M.
"Sebelumnya tak pernah terbayang kita melakukan apa setelah keluar nanti, akhirnya saya memilih jalan dakwah," jelas M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar