Pemerintah tengah menyiapkan cetak biru untuk program deradikalisasi nasional untuk mengatasi terorisme.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT
mengatakan selama ini program deradikalisasi dijalankan secara parsial
dan membantah deradikalisasi yang dilakukan selama ini telah gagal.
"BNPT itu baru 2010 berdiri saya kira keliru lantas bahwa
deradikalisasi tidak berhasil, bukan itu, jika ditarik lebih jauh bangsa
ini tidak berhasil memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran
agama," kata Kepala BNPT Ansyaad Mbai.
"Sekarang deradikalisasi kita mulai, ga usah mencari… nah tiap ada teroris deradikalisasi yang disalahkan ya ga logis lah.." tambah dia.
Dalam keterangannya pertengahan September lalu,
Wakil Presiden Boediono mengatakan Indonesia memerlukan program yang
utuh untuk mengatasi radikalisasi. Sebab selama ini upaya yang dilakukan
oleh sejumlah instansi tidak cukup karena belum adanya aksi bersama dan
koordinasi.
"Cetak biru deradikalisasi iniharus benar-benar tajam agar tepat pata sasaran," kata Boediono.
Ansyaad menjelaskan program deradikalisasi ini
dimulai sekitar 10 tahun lalu, ketika tim Densus 88 mengaku tidak dapat
mengorek keterangan dari para tersangka kasus terorisme.
"Densusnya bingung, kan kita ga
bisa kayak jaman Kopkamtib dulu kita pukulin, kita rendam, kita setrum,
kita betul-betul murni menegakkan HAM, orang ini kan harus ngomong. Nah bagaimana harus ngomong, akhirnya muncul oh perlu ada deradikalisasi," jelas Ansyaad.
Menurut Ansyaad dalam melakukan deradikalisasi
ini, aparat Densus 88 mendekati keluarga tersangka terorisme dan
memberikan bantuan bagi anggota keluarga mereka yang putus sekolah,
sakit dan kebutuhan keluarga lainnya.
"Ada yang kawin dikawinkan, itu kantong sendiri,
itu kita mulai deradikalisasi, dan tidak terprogram dan tidak ada
anggaran itu untuk polisi dan polkam juga tidak ada. Baru sekarang ini
disepakati deradikalisasi dijadikan program nasional yang dibiayai
APBN," kata Ansyaad.
Meski demikian, Ansyaad tidak menyebut jumlah anggaran untuk program deradikalisasi ini.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme BNPT Irfan Idris menjelaskan program
deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT adalah dengan melibatkan para
pelaku tindak pidana terorisme yang masih berada di Lembaga
Pemasyarakatan.
Selain itu juga melakukan upaya pencegahan
dengan mengajak pemimpin daerah dan tokoh agama untuk melakukan upaya
preventif mengatasi radikalisme.
Menurut Irfan beberapa program yang dilakukan antara lain melalui pendekatan budaya, bisnis dan ideologi.
"Justru dengan adanya Toriq yang menyerahkan
diri dan tidak jadi melakukan bom bunuh diri itu justru sebuah
keberhasilan, dan gaungnya besar, jadi yang sepuluh itu tertangkap,"
kata Irfan.
BNPT juga membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme untuk mencegah penyebaran paham radikal, dan sudah berdiri di 10 kota.
Radikal dan kekerasan
Psikolog Profesor Sarlito Wirawan yang juga
terlibat dalam program deradikalisasi, mengatakan pemahaman radikal itu
tidak masalah sepanjang tidak dibarengi dengan kekerasan.
"Nah jika radikal dibarengi dengan
kekerasan itu yang berbahaya, kekerasan juga bisa bermacam-macam
tingkatnya, ada yang menjadi otaknya, operator, pengantin dan ada juga
yang supporting" kata dia.
Sejak 2009 lalu, Sarlito dan tim dari
Universitas Indonesia melakukan program deradikalisasi dengan melakukan
pendekatan secara personal kepada para mantan narapidana kasus
terorisme.
"Jangan dihadapkan ayat dengan ayat lain, ini
yang dilakukan di Arab Saudi dilakukan oleh ulama, tekniknya itu jangan
ngomong soal itu tetapi soal keluarganya, kemudian sambil ngomong agama,
agama dijadikan acuan tetapi tidak dijadikan bahan pembicaraan pokok,"
jelas Sarlito.
"Sebagian besar itu adalah mantan narapidana
yang sudah menjalani keluar, ada yang mantan Kompak, Poso, Ambon mantan
Afghanistan, mereka dibagi dalam kelompok kelcil dalam sekitar 15 orang
dua dipenjara Cipinang dan rutan Polda Metro Jaya dan satu lagi diluar
yang sudah bebas," tambah Sarlito.
Menurut Sarlito pendekatan personal ini dapat mengubah cara pandang mereka.
"Itu sesi 1 minggu sekali, dialog dalam berbagai
hal, setelah diteliti tiap pertemuan dicatat terlihat perkembangannya,
dan kelihatan pandangan tidak radikal lagi, nah ketika bom Marriot 2 itu
mengatakan bahwa itu salah," jelas Sarlito.
Dia mengaku ini bukan pekerjaan yang gampang dan membutuhkan waktu.
Setelah itu, Sarlito mengatakan tahapan
selanjutnya peserta program ini diberikan pelatihan, dan disebarkan ke
sejumlah wilayah untuk berdakwah agar umat tidak memilih jalan
kekerasan.
Selain itu, menurut Sarlito, para mantan pelaku ini juga dibantu untuk kembali ke masyarakat.
Mantan narapidana kasus peledakan bom Bali 1
yang meminta agar identitasnya hanya di insialnya M, merupakan salah
seorang yang mengikuti program pemberdayaan dakwah yang dimotori oleh
Sarlito dan timnya.
Sejak 2002 lalu, M menjalani hukuman sampai 2009 lalu, dan kemudian tinggal di Bekasi dan mengajar anak-anak mengaji.
"Intinya itu dakwah dan bagaimana kita dapat
beradaptasi dengan masyarakat, dan menunjukkan kita baik terhadap
masyarakat tidak seperti image yang diluar," kata M.
"Sebelumnya tak pernah terbayang kita melakukan apa setelah keluar nanti, akhirnya saya memilih jalan dakwah," jelas M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar